Langsung ke konten utama

NGEBET KAWIN: PENYAKIT SOSIAL YANG LEBIH MENGERIKAN DARIPADA COVID-19 ?

Heyhallo sobat Romance Class, berjumpa lagi dengan konten romasa yang sedikit mencerahkan tapi banya sok tau nya eheheh :p

Sebelum kita mulai, mau saya kasih berita dulu nih.. cekidot

https://news.detik.com/berita/d-5162726/kasus-perceraian-di-kabupaten-bogor-meningkat-selama-pandemi-corona

Mari kita bahas dulu, berita diatas.

Covid-19 membuat Pemerintah mengambil keputusan PSBB, yang mengakibatkan masyarakat banyak yang bekerja dari rumah atau work from home, ada yang kena PHK dan lainnya,

alhasil banyak pasangan suami istri menghabiskan banyak waktunya bersama.

Pertanyaannya : Banyak pasangan suami istri lebih banyak menghabiskan waktunya bersama di rumah, tapi kenapa banyak kasus perceraian terjadi selama pandemi corona ini?

Alasan Ekonomi kah? Atau ada faktor lain?

  • PERTAMA. Peningkatan mendadak itu bisa jadi karena ada banyak kantor hukum tutup semasa isolasi sehingga kasus/sidang cerai (yang diajukan sebelum isolasi) menumpuk tak bisa diproses sama sekali. Ketika akhirnya kantor kembali buka operasional, wajar terlihat ada lonjakan besar jumlah kasus yang sempat tertahan selama ini, plus kasus-kasus yang baru masuk. Saya kira ini faktor di luar relasi yang cukup besar pengaruhnya.
  • KEDUA. Niatan bercerai bisa terjadi karena tingkat stres dan panik tinggi semasa isolasi. Kehadiran virus yang belum ada vaksin ataupun obatnya itu tidak hanya mengancam kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan mental, kinerja ekonomi, dan kesejahteraan berlingkungan/sosial. Bila sepasang kekasih kurang terampil mengelola gejolak tekanan eksternal, sentimen negatif itu akan spill over (tumpah) mengacaukan kualitas komunikasi mereka. Suami-istri jadi saling berbalasan bersikap sensi, dingin, ketus, atau mudah terpelatuk panas satu sama lain, memicu empat perilaku pemicu cerai.
  • KETIGA. Masa isolasi panjang itu berpotensi mengungkap jurang perbedaan minat/frekuensi/nilai antar suami-istri. Mungkin saja (sebelum nikah) keduanya sempat sadar akan perbedaan itu, tapi mereka menutup mata, mengalah, mengabaikan saja karena berkeyakinan cinta/nikah/anak akan jadi solusi. Setelah nikah, mereka mengalami gangguan tapi masih bearable karena suami-istri cuma berinteraksi beberapa jam saja dalam satu hari. Dengan adanya isolasi dan interaksi sepanjang hari, perbedaan-perbedaan itu terasa lebih mencolok, seperti duri dalam daging yang membuat keduanya bengkak meradang. Berduaan terus sepanjang hari dan berminggu-minggu, tapi ngobrol nyambung enak aja susah. Frekuensi konflik gegara hal-hal sepele meningkat, mengipas emosi sehingga terpikir ingin pisah/cerai.
  • KEEMPAT. Dikarantina dengan ruang gerak minim itu juga membuat suami-istri semakin mudah+sering melihat masalah, kekurangan, kesalahan, ketidakdewasaan, keburukan, kepayahan pasangan. Setiap ada satu kelalaian/kesalahan kecil baru akan cepat sekali updated masuk ke deskripsi karakter pasangan, sementara hal-hal baik dan positif lolos dari pengamatan, tidak diapresiasi karena dianggap sudah kewajiban. Siklus itu menciptakan negative sentiment override yang perlahan menggerogoti tingkat kepuasan, kebahagiaan bersama. Masing-masing yakin diri tidak bahagia disebabkan oleh pasangannya, wajar gatal ingin cerai dan gerah ingin berpisah.
  • KELIMA. Semasa karantina itu, kemungkinan ada pihak yang tidak-terbiasa dengan pekerjaan domestik (biasanya pria) sehingga dia kurang kooperatif/suportif dengan kesibukan pasangannya. Ketika suami terlihat jelas-jelas ‘santai’ di rumah tapi tidak proaktif terlibat memantau dan mengurus anak, memikirkan dan mengatur suplai makanan, membereskan tetek bengek rumah, dsb itu akan memicu kecemburuan istri. Perlahan tapi pasti, istri jadi lebih sensitif atau on edge, tanpa sadar jadi ekstra menuntut, menyudutkan, menyalahkan suami atas banyak hal. Suami (yang tradisional) merasa diusik dan tidak dihormati, istri merasa diabaikan dan tidak dihargai. Tidak sulit melihat bagaimana virus ide perceraian mulai terduplikasi dalam otak mereka.
  • KEENAM. Kegiatan mengurus anak dan kecemasan seputar anak akan berlipatganda, sehingga waktu dan energi suami-istri jadi terfokus bahas urusan anak saja. Momen intim/akrab berdua yang sebelumnya sudah minim jadi semakin punah di masa isolasi. Suami-istri tidak bisa bebas bicara masalah, nyaman membuka hati, ataupun membina kehangatan karena sepanjang hari bersama anak-anak (dan mungkin tambahan keluarga eksternal lainnya yang ikut terisolasi bersama). Anak jadi prioritas utama, hubungan dibiarkan terbengkalai. Hidup bersama tapi tidak terasa cintanya, cuma terasa segudang lelah, stres, dan kecewanya. Jika dibiarkan berlama-lama ini akan membuka jendela untuk perselingkuhan ataupun pintu untuk perceraian, seperti saya sering share dalam acara komunitas parenting.

Tentu masih ada banyak faktor lainnya (seperti kejenuhan, kebingungan distribusi tugas/peran, campur tangan keluarga besar, hilangnya private space, berkurangnya rasa berdaya, dsb) yang tumpang tindih menambah beban perjalanan hubungan, khususnya di masa-masa sulit seperti sekarang ini.

Menurut analisa saya dari berbagai faktor seperti alas an ekonomi, mengasuh anak, pekerjaan rumah dan lain sebagainya, akarnya adalah kurangnya management konflik.

Faktor-faktor yang saya sebutkan diatas ataupun faktor lain yang belum saya sebutkan, semua itu berakar, kalaupun banyak faktor yang menyebabkan konflik, tetapi kalau keduanya bisa memanagement setiap konflik yang muncul, perceraian tidak akan timbul.

Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk menikah, ada beberapa skill dan keadaan wajib yang harus dimiliki, berikut :

1.    Melakukan pekerjaan rumah tangga standar, seperti menyapu, mencuci baju, mengepel rumah dsb.

2.    Mengasuh anak

3.    Finansial yang matang

4.    Mengendalikan Emosi dan Management Konflik

Karena sebenarnya syarat paling utama dalam menikah bukanlah Cinta, akan tetapi kesiapan!

Berulang kali mengucapkan “Kalo cinta nikahin dong” pada lawan jenis mana saja yang lewat menunjukkan bahwa kamu adalah manusia yang mupeng banget untuk dicintai, dimiliki dan dinikahi. Lain kali ucapkan “Kalo udah siap, nikahin dong” ;)

Apa hubungannya dengan judul yang saya buat?

Ngebet Kawin? Penyakit Sosial yang lebih mengerikan daripadi Covid-19 ?



Fenomena nikah muda di Indonesia memang tidak ada habisnya dibahas. Apalagi baru-baru ini beredar video pernikahan antara bocah laki-laki dan perempuan yang usianya belum menginjak 16 tahun. Pernikahan yang terjadi di Desa Tungkap Binuang Tapin, Kalimantan Selatan, itu langsung menimbulkan pro dan kontra. Menurut kaum kontra, kedua bocah itu seharusnya masih asik bermain layangan, gundu, belajar di sekolah, dan bukannya menjalani rumah tangga. Sedangkan kaum pro mendukung karena menganggap pernikahan bisa mencegah … you know lah … zina.

Para penggiat nikah muda pun bersorak kegirangan karena menemukan panutan baru. “Ini baru bener! Ngapain buang-buang waktu dengan pacaran? Langsung nikahin dong,” ujar mereka.

Canggih sekali Indonesia ini bukan?

Ketika negara lain berlomba-lomba unggul di piala dunia, warga Indonesia memilih jalur antimainstream dengan berlomba siapa cepat ke pelaminan. Mungkin bagi sebagian warga Indonesia, capek dalam pernikahan lebih gampang diatasi ketimbang capek di lapangan.

Tidak bisa dibantah kalau orangtua, tetua, pemuka agama, dan selebriti media sosial memegang andil penting dalam fenomena ini. Siapa lagi yang suka menyuapi anak-anak muda dengan mimpi indah pernikahan? Coba perhatikan, ada berapa juta quote tentang indahnya pernikahan yang bertebaran di timeline Anda? Jika quote-quote itu Anda telan setiap hari, bukan tidak mungkin besoknya Anda akan merengek minta nikah sama orangtua. Masalah cocok-cocokan itu nanti dulu, yang penting sekarang bisa senyum kuda saat foto pre-wedding.

Barangkali para selebriti itu memang bahagia setelah menikah muda, tapi pertanyaannya: apa orang lain bisa sama bahagianya seperti mereka? Mungkin hanya segelintir yang bisa sama-sama bahagia dan langgeng sampai tua. Sisanya jatuh merana dan bertanya-tanya mengapa pernikahannya tidak sebahagia orang-orang di layar televisi itu. Kalau nikah muda memang seindah dan seberhasil kata orang, seharusnya perceraian di Indonesia tidak bakal meroket sampai 350.000 kasus pada 2016 lalu.

Sebagian besar penggiat nikah muda beralasan kalau menikah adalah satu-satunya cara menghindari seks bebas. Alasan itu saja sudah alot dicerna akal sehat. Jika Anda ingin menghindari zina, maka caranya adalah dengan TIDAK BERBUAT ZINA.

Apa orang yang menikah langsung kuat menahan libidonya dari orang lain? Tentu tidak. Ada ratusan berita perselingkuhan yang bertebaran di mana-mana. Hal itu membuktikan bahwa menikah tidak serta merta mengurangi kadar libido seseorang. Jadi, menikah sama sekali tidak mencegah atau menghentikan seseorang berbuat zina.

Di balik hiruk pikuk semangat “Ayo nikah muda!” yang berkumandang, ada beberapa poin yang tampaknya tidak sengaja (atau sengaja?) dilupakan para penggiat nikah muda:

Kematangan mental memang tidak bisa diukur dari usia. Mengutip Coach Lex dePraxis, “Kematangan adalah buah dari pengalaman dan kedewasaan adalah buah dari tanggung jawab.” Itu artinya seseorang perlu punya banyak asam garam pengalaman dan tanggung jawab untuk mengasah mentalnya. Di usia yang begitu dini, tidak banyak yang bisa dialami oleh remaja. Di masa itu, seorang remaja seharusnya mengumpulkan kedua itu, bukannya mengurusi rumah tangga.

Jika Anda mau menuruti hasil penelitian di Journal of Social and Personal Relationships, maka 25 tahun adalah usia ideal untuk menikah. Di usia tersebut, Anda seharusnya sudah memiliki banyak pengalaman hidup yang menempa pola pikir Anda sehingga pantas untuk menikah. Kecuali Anda kerjaannya cuma meringkuk dalam kamar dan tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan sama sekali.

Coba pikir baik-baik. Apa yang bisa diharapkan dari remaja usia di bawah 25 tahun yang seringkali masih sulit berpikir logis? Karena pikirannya belum matang, mereka sulit melihat baik dan buruknya pernikahan. Mungkin bagi mereka, pernikahan hanyalah soal hidup bersama pasangan dan bahagia selamanya.

Padahal pernikahan itu berpuluh-puluh kali lebih sulit daripada berpacaran sebab: 1) Mereka bertemu pasangannya selama hampir 24 jam. Awalnya tidak membosankan, tapi tunggu beberapa bulan ke depan. 2) Pengeluaran tiba-tiba membengkak karena harus membayar tagihan-tagihan rumah tangga. 3) Komunikasi yang tadinya seru asik tiba-tiba berubah kaku karena capek mengurus keluarga. 4) Dan puluhan masalah pernikahan lainnya.

Bila Anda ingin menikah, pastikan dulu konsekuensi yang bakal dialami setelah menikah. Menjalani pernikahan tidak akan seindah, semewah, dan secemerlang foto pre-wedding di Instagram. Pikirkan baik-baik hal apa saja yang mungkin terjadi selama perjalanan tersebut. Barangkali ada perbedaan pasangan yang belum mampu Anda terima. Mungkin keuangan Anda belum cukup untuk menghidupi dua orang. Hal-hal seperti itu tidak boleh diabaikan karena bakal menumpuk masalah ke depannya.

Bicara tentang keuangan ada daya tariknya tersendiri karena uang adalah salah satu aspek super penting dalam menunjang kehidupan. Apalagi bila dikaitkan dengan pernikahan, menariknya bukan main!

Kenapa begitu?

Karena keuangan bisa menjadi lem perekat, sekaligus asam sulfat pernikahan. Terutama bila keuangannya melarat tak termaafkan. Bagi sebagian pasangan, kekurangan uang bisa merekatkan hubungan jika masing-masing pihak bahu membahu mencari cara untuk keluar dari kemiskinan. Tapi tidak semua pasangan mau berlelah-lelah seperti itu dan mencari jalan keluar tercepat: bercerai.

Meski peran keuangan sangat krusial, ternyata masih banyak yang menyepelekannya. Para penggiat nikah muda pun tak luput dari penyepelean ini. Jika Anda bertanya soal keuangan ke mereka, kemungkinan besar jawabannya begini: “Sudahlah, uang ada yang ngatur. Yang penting itu niat dan ikhlas” atau jawaban hampir serupa yang intinya Anda tidak perlu memusingkan uang bila ingin menikah.

Anda boleh berpendapat untuk tidak memikirkan masalah keuangan, tapi pastikan diri Anda benar-benar sudah mapan. Bagaimana bisa tidak memusingkan keuangan, kalau untuk menghidupi diri sendiri saja masih super sulit? Bagaimana nasib pasangan dan anak Anda nanti? Menyediakan makanan dan pakaian saja masih jauh dari kata cukup. Anda juga harus memikirkan pendidikan anak, tempat tinggal yang layak, dan pengeluaran tak terduga lainnya. Omong-omong soal tempat tinggal, tahukah Anda kalau banyak keluarga Indonesia yang tinggal berhimpit-himpitan di lingkungan kumuh? Mau keluarga Anda tinggal di tempat seperti itu?

Boleh-boleh saja Anda nekat menikah muda, tapi jangan menyepelekan masalah keuangan karena Anda beresiko membawa bencana kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Kasihanilah diri Anda dan keluarga Anda.

Apa yang Anda korbankan bila memutuskan untuk nikah muda? Tentu saja jangka waktu pacaran yang jadi lebih singkat. Padahal Anda sangat butuh berlama-lama pacaran karena itu satu-satunya cara untuk menguji kualitas pasangan.

Coach Lex dePraxis pernah menjelaskan bahwa pacaran mengandung tiga fungsi penting: investigasi, evaluasi, dan introspeksi. Ya, Anda perlu menginvestigasi sifat dan kelakuan pasangan—baik yang kelihatan maupun yang disembunyikan—agar bisa mengenalnya lebih dalam. Jangan sampai kalian memiliki banyak sifat yang sangat bertolak belakang dan ketahuannya belakangan pula. Misalnya: untuk pengeluaran, Anda hematnya bukan main sedangkan dia borosnya bukan main. Akibatnya, keuangan Anda jadi ikutan boros demi menghidupi pasangan Anda. Dan sayangnya lagi, Anda baru mengetahuinya setelah menikah.

Kalau sudah menginvestigasi, Anda juga perlu mengevaluasi hubungan apakah pasangan bisa kooperatif atau tidak. Jika romansa diibaratkan sebagai kapal, maka Anda dan pasangan adalah juru kemudi sekaligus navigatornya. Kalian butuh kerjasama yang solid agar kapal tersebut berhasil mencapai tujuan. Kalau salah satu pihak kebanyakan ngeyel dan tidak mau bekerjasma, tinggal menunggu waktu sampai kapal tersebut karam di tengah jalan.

Bagi sebagian orang, mencari pasangan yang benar-benar bisa diajak bekerja sama itu sulitnya bukan main. Terkadang pasangan hanya mau kooperatif di awal hubungan, setelah itu melempem belakangan. Untuk mengetahui daya tahan kooperatif pasangan, tentu Anda harus berpacaran dalam jangka waktu lama. Jangan sampai Anda baru menyadari punya pasangan yang tidak kooperatif justru setelah terlanjur menikah.

Masa pacaran juga membuat kedua pihak bisa mengintrospeksi diri. Anda dan pasangan tentu punya sekargo kekurangan yang sulit dilihat pada awal-awal hubungan. Semakin lama hubungan itu berjalan, semakin berhamburan pula kekurangan yang selama ini ditahan-tahan.

Selama dalam masa pacaran, Anda dan pasangan punya kesempatan untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Kesempatan itu juga hadir dalam pernikahan, tapi jauh lebih sulit karena pernikahan cenderung membuat kedua pihak bersikap defensif ketimbang mendengarkan.

Keuntungan lain dari pacaran adalah: kalaupun kekurangan pasangan tidak termaafkan, maka kalian bisa memutuskan untuk berpisah yang mana prosesnya lebih gampang ketimbang bercerai. Anda tidak perlu bolak-balik mengurus surat perceraian dan menanggung rasa malu di keluarga. Palingan Anda cuma harus mengalami drama-drama putus cinta dari mantan.

Betapa pentingnya masa pacaran ini sampai-sampai Family Relations menerbitkan penelitian yang menjelaskan kalau suami-istri yang pacarannya kurang dari 6 bulan, justru BERPELUANG BESAR untuk bercerai. Alasannya? Karena mengurangi masa pacaran itu sama saja membiarkan pasangan yang tidak kompatibel masuk dan bercokol lama dalam hidup kita. Tinggal menunggu waktu hingga salah satu pihak menyadari kebodohannya dan memutuskan bercerai. Bayangkan bila masa pacaran Anda kurang dari itu!

Kesimpulannya, tidak apa-apa jika Anda ingin menikah muda, terutama kalau usia Anda sudah menginjak 25 tahun ke atas. Namun, daripada menikah cuma sekedar ikut-ikutan apa kata orang atau demi menghindari zina, jauh lebih bijak bila Anda mempertimbangkan ketiga faktor di atas demi pernikahan yang berkualitas.

Covid-19 adalah penyakit flu biasa yang dilebih lebihkan oleh para penguasa, hanya dengan berjemur matahari saja, kita bisa sembuh.

Perceraian adalah hasil produk dari ngebet nikah, yang sangat sukar disembuhkan, kalaupun sembuh pasti tidak akan bisa seperti keadaan normal.

Oke, sampai sini saja tulisan saya, jika ada hal yang perlu ditanyakan, sila tinggalkan komentar dibawah atau DM di iG/Twitter saya @rahmaddanan.

Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya :* Stay happy & charming

 

Salam Romansa,

Rahmad Danan x Romance Class

 

Sumber : kelascinta.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semua akan selingkuh pada waktunya~ #ExplicitContent

Heyhalo sobat romansa dimanapun klean berada, jumpa lagi dengan konten Romance Class yang sedikit sok tau banya benarnya :p Tulisan ogud kali ini bersumber dari keresahan dari beberapa orang yang pernah mengalami diselingkuhi oleh pasangan. Kalo kalian bertanya, siapa sih yang patut disalahkan kalo ada yang selingkuh? Disini semua jawabannya : https://rahmaddananjaya.blogspot.com/2020/09/pelakor-siapa-yang-patut-disalahkan.html Semua akan Selingkuh pada waktunya, ya benar. Yang akan kita bahas adalah.. Apa faktor penyebab seseorang itu Selingkuh ? Bagaimana cara memperkecil faktor kita untuk Selingkuh? Apakah kesetiaan itu hanya fiktif belaka?   Sebelum masuk ke pembahasan, siapkan kudapan dan minuman ringan kalian, ambil posisi duduk yang paling nyaman, and here we go.. Selingkuh adalah  istilah  yang umum digunakan terkait perbuatan atau aktivitas yang tidak  jujur  terhadap pasangannya, baik  pacar ,  suami , atau  istri ...

6 Hal Penting yang Harus Kamu lakukan saat First Date

Haloo.. sobat romansa yang dirahmati oleh Allah Swt.. Akhirnya muncul lagi nih setelah lama konten Romance Class  lama ilang, alias sibuk banget sih belakangan ini, jadi baru sempat ini ehehe.. First Date alias Kencan pertama adalah momen dimana kamu bertemu tatap muka dengan gebetanmu pertama kali, yangmana sebelumnya kalian berdua sudah chat/mengobrol lewat Pesan Pribadi secara intens. Seringkali momen First Date ini menjadi penentu keberhasilan kamu untuk melangkah ke Kencan selanjutnya, atau bisa jadi sebaliknya, kencan berikutnya tidak akan terjadi. Kenapa? Karena kamu telah gagal memenuhi ekspektasi gebetanmu. So, biar ga terjadi kegagalan dan kamu bisa lanjut untuk kencan berikutnya, inilah 6 Hal Penting yang Harus kamu lakukan saat First Date (Romantic Date) : 1.    Penampilan Kalo kalian sering mendengar pepatah “ Don’t judge the book by the Cover”   , mulai sekarang kalian hapus pepatah itu dari kamus kalian saat akan pergi First Date. Sesungguhnya penampil...

Kutukan Si Dukun Curhat~

Heyhallo.. sobat romansa yang dirahmati oleh Allah swt, mari kita heningkan cipta sejenak bagi rekan rekan di sekeliling kita yang gugur di medan juang, yang sudah rela berkorban jadi pendengar yang baik dan ngasih solusi saran ina inu, tapi cuma dianggap sebagai temen aja alias friendzone sama gebetannya, aowkwkwkwkwk.. :v Saya yakin ada banyak di antara Anda yang sehari-harinya terkenal sebagai sang konselor sejati , tempat tumpahan lirih dari bidadari-bidadari yang sedang terluka. Mungkin sudah tidak terhitung lagi berapa kali Anda mendengar teman-teman wanitamu  curhat  tentang pria mereka yang kurang ajar, tidak tahu diri. Seribu satu macam cerita yang membuat jiwa humanis dan heroik Anda bergetar ingin ’menyelamatkan’ si wanita cantik, sambil diam-diam juga ngarep sama dia! Tapi entah mengapa, tak peduli berapa banyak nasehat yang Anda beri, tentang kenapa pria itu seharusnya ditinggalkan, atau mengumpulkan bukti-bukti hubungan mereka tidak sehat, wanita it...