Heyhallo sobat Romance Class, berjumpa lagi dengan konten romasa yang sedikit mencerahkan tapi banya sok tau nya eheheh :p
Sebelum kita mulai, mau saya kasih berita
dulu nih.. cekidot
Mari kita bahas
dulu, berita diatas.
Covid-19 membuat
Pemerintah mengambil keputusan PSBB, yang mengakibatkan masyarakat banyak yang
bekerja dari rumah atau work from home, ada yang kena PHK dan lainnya,
alhasil banyak
pasangan suami istri menghabiskan banyak waktunya bersama.
Pertanyaannya : Banyak
pasangan suami istri lebih banyak menghabiskan waktunya bersama di rumah, tapi
kenapa banyak kasus perceraian terjadi selama pandemi corona ini?
Alasan Ekonomi
kah? Atau ada faktor lain?
- PERTAMA. Peningkatan mendadak itu
bisa jadi karena ada banyak kantor hukum tutup semasa isolasi sehingga
kasus/sidang cerai (yang diajukan sebelum isolasi) menumpuk tak bisa
diproses sama sekali. Ketika akhirnya kantor kembali buka operasional,
wajar terlihat ada lonjakan besar jumlah kasus yang sempat tertahan selama
ini, plus kasus-kasus yang baru masuk. Saya kira ini faktor di luar relasi
yang cukup besar pengaruhnya.
- KEDUA. Niatan bercerai bisa
terjadi karena tingkat stres dan panik tinggi semasa isolasi. Kehadiran
virus yang belum ada vaksin ataupun obatnya itu tidak hanya mengancam
kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan mental, kinerja ekonomi, dan
kesejahteraan berlingkungan/sosial. Bila sepasang kekasih kurang terampil
mengelola gejolak tekanan eksternal, sentimen negatif itu akan spill over
(tumpah) mengacaukan kualitas komunikasi mereka. Suami-istri jadi saling
berbalasan bersikap sensi, dingin, ketus, atau mudah terpelatuk panas satu
sama lain, memicu empat perilaku pemicu cerai.
- KETIGA. Masa isolasi panjang itu
berpotensi mengungkap jurang perbedaan minat/frekuensi/nilai antar
suami-istri. Mungkin saja (sebelum nikah) keduanya sempat sadar akan
perbedaan itu, tapi mereka menutup mata, mengalah, mengabaikan saja karena
berkeyakinan cinta/nikah/anak akan jadi solusi. Setelah nikah, mereka
mengalami gangguan tapi masih bearable karena suami-istri
cuma berinteraksi beberapa jam saja dalam satu hari. Dengan adanya isolasi
dan interaksi sepanjang hari, perbedaan-perbedaan itu terasa lebih
mencolok, seperti duri dalam daging yang membuat keduanya bengkak
meradang. Berduaan terus sepanjang hari dan berminggu-minggu, tapi ngobrol
nyambung enak aja susah. Frekuensi konflik gegara hal-hal sepele meningkat,
mengipas emosi sehingga terpikir ingin pisah/cerai.
- KEEMPAT. Dikarantina dengan ruang
gerak minim itu juga membuat suami-istri semakin mudah+sering melihat
masalah, kekurangan, kesalahan, ketidakdewasaan, keburukan, kepayahan
pasangan. Setiap ada satu kelalaian/kesalahan kecil baru akan cepat sekali
updated masuk ke deskripsi karakter pasangan, sementara hal-hal baik dan
positif lolos dari pengamatan, tidak diapresiasi karena dianggap sudah
kewajiban. Siklus itu menciptakan negative sentiment override yang
perlahan menggerogoti tingkat kepuasan, kebahagiaan bersama. Masing-masing
yakin diri tidak bahagia disebabkan oleh pasangannya, wajar gatal ingin
cerai dan gerah ingin berpisah.
- KELIMA. Semasa karantina itu,
kemungkinan ada pihak yang tidak-terbiasa dengan pekerjaan domestik
(biasanya pria) sehingga dia kurang kooperatif/suportif dengan kesibukan
pasangannya. Ketika suami terlihat jelas-jelas ‘santai’ di rumah tapi
tidak proaktif terlibat memantau dan mengurus anak, memikirkan dan
mengatur suplai makanan, membereskan tetek bengek rumah, dsb itu akan
memicu kecemburuan istri. Perlahan tapi pasti, istri jadi lebih sensitif
atau on edge, tanpa sadar jadi ekstra menuntut, menyudutkan,
menyalahkan suami atas banyak hal. Suami (yang tradisional) merasa diusik
dan tidak dihormati, istri merasa diabaikan dan tidak dihargai. Tidak
sulit melihat bagaimana virus ide perceraian mulai terduplikasi dalam otak
mereka.
- KEENAM. Kegiatan mengurus anak dan
kecemasan seputar anak akan berlipatganda, sehingga waktu dan energi
suami-istri jadi terfokus bahas urusan anak saja. Momen intim/akrab berdua
yang sebelumnya sudah minim jadi semakin punah di masa isolasi.
Suami-istri tidak bisa bebas bicara masalah, nyaman membuka hati, ataupun
membina kehangatan karena sepanjang hari bersama anak-anak (dan mungkin
tambahan keluarga eksternal lainnya yang ikut terisolasi bersama). Anak
jadi prioritas utama, hubungan dibiarkan terbengkalai. Hidup bersama tapi
tidak terasa cintanya, cuma terasa segudang lelah, stres, dan kecewanya.
Jika dibiarkan berlama-lama ini akan membuka jendela untuk perselingkuhan
ataupun pintu untuk perceraian, seperti saya sering share dalam
acara komunitas parenting.
Tentu masih ada banyak faktor lainnya
(seperti kejenuhan, kebingungan distribusi tugas/peran, campur tangan keluarga
besar, hilangnya private space, berkurangnya rasa berdaya, dsb)
yang tumpang tindih menambah beban perjalanan hubungan, khususnya di masa-masa
sulit seperti sekarang ini.
Menurut analisa
saya dari berbagai faktor seperti alas an ekonomi, mengasuh anak, pekerjaan
rumah dan lain sebagainya, akarnya
adalah kurangnya management konflik.
Faktor-faktor yang
saya sebutkan diatas ataupun faktor lain yang belum saya sebutkan, semua itu
berakar, kalaupun banyak faktor yang menyebabkan konflik, tetapi kalau keduanya bisa memanagement setiap konflik
yang muncul, perceraian tidak akan timbul.
Maka dari itu,
sebelum memutuskan untuk menikah, ada beberapa skill dan keadaan wajib yang
harus dimiliki, berikut :
1.
Melakukan pekerjaan rumah tangga standar,
seperti menyapu, mencuci baju, mengepel rumah dsb.
2.
Mengasuh anak
3.
Finansial yang matang
4.
Mengendalikan Emosi dan Management Konflik
Karena sebenarnya
syarat paling utama dalam menikah bukanlah Cinta, akan tetapi kesiapan!
Berulang kali
mengucapkan “Kalo cinta nikahin dong” pada lawan jenis mana saja yang lewat
menunjukkan bahwa kamu adalah manusia yang mupeng banget untuk dicintai,
dimiliki dan dinikahi. Lain kali ucapkan “Kalo udah siap, nikahin dong” ;)
Apa hubungannya
dengan judul yang saya buat?
Ngebet Kawin?
Penyakit Sosial yang lebih mengerikan daripadi Covid-19 ?
Fenomena nikah
muda di Indonesia memang tidak ada habisnya dibahas. Apalagi baru-baru ini
beredar video pernikahan antara bocah laki-laki dan perempuan yang usianya
belum menginjak 16 tahun. Pernikahan yang terjadi di Desa Tungkap Binuang
Tapin, Kalimantan Selatan, itu langsung menimbulkan pro dan kontra. Menurut
kaum kontra, kedua bocah itu seharusnya masih asik bermain layangan, gundu,
belajar di sekolah, dan bukannya menjalani rumah tangga. Sedangkan kaum pro
mendukung karena menganggap pernikahan bisa mencegah … you know lah … zina.
Para penggiat
nikah muda pun bersorak kegirangan karena menemukan panutan baru. “Ini baru
bener! Ngapain buang-buang waktu dengan pacaran? Langsung nikahin dong,” ujar
mereka.
Canggih sekali
Indonesia ini bukan?
Ketika negara lain
berlomba-lomba unggul di piala dunia, warga Indonesia memilih jalur antimainstream dengan berlomba
siapa cepat ke pelaminan. Mungkin bagi sebagian warga Indonesia, capek dalam
pernikahan lebih gampang diatasi ketimbang capek di lapangan.
Tidak bisa
dibantah kalau orangtua, tetua, pemuka agama, dan selebriti media sosial
memegang andil penting dalam fenomena ini. Siapa lagi yang suka menyuapi
anak-anak muda dengan mimpi indah pernikahan? Coba perhatikan, ada berapa juta quote tentang indahnya pernikahan
yang bertebaran di timeline Anda?
Jika quote-quote itu Anda telan setiap
hari, bukan tidak mungkin besoknya Anda akan merengek minta nikah sama
orangtua. Masalah cocok-cocokan itu nanti dulu, yang penting sekarang bisa
senyum kuda saat foto pre-wedding.
Barangkali para
selebriti itu memang bahagia setelah menikah muda, tapi pertanyaannya: apa
orang lain bisa sama bahagianya seperti mereka? Mungkin hanya segelintir yang
bisa sama-sama bahagia dan langgeng sampai tua. Sisanya jatuh merana dan
bertanya-tanya mengapa pernikahannya tidak sebahagia orang-orang di layar
televisi itu. Kalau nikah muda memang seindah dan seberhasil kata orang,
seharusnya perceraian di Indonesia tidak bakal meroket sampai 350.000 kasus
pada 2016 lalu.
Sebagian besar
penggiat nikah muda beralasan kalau menikah adalah satu-satunya cara menghindari
seks bebas. Alasan itu saja sudah alot dicerna akal sehat. Jika Anda ingin
menghindari zina, maka caranya adalah dengan TIDAK BERBUAT ZINA.
Apa orang yang
menikah langsung kuat menahan libidonya dari orang lain? Tentu tidak. Ada
ratusan berita perselingkuhan yang bertebaran di mana-mana. Hal itu membuktikan
bahwa menikah tidak serta merta mengurangi kadar libido seseorang. Jadi,
menikah sama sekali tidak mencegah atau menghentikan seseorang berbuat zina.
Di balik hiruk
pikuk semangat “Ayo nikah muda!” yang berkumandang, ada beberapa poin yang
tampaknya tidak sengaja (atau sengaja?) dilupakan para penggiat nikah muda:
Kematangan mental
memang tidak bisa diukur dari usia. Mengutip Coach Lex dePraxis, “Kematangan
adalah buah dari pengalaman dan kedewasaan adalah buah dari tanggung jawab.”
Itu artinya seseorang perlu punya banyak asam garam pengalaman dan tanggung
jawab untuk mengasah mentalnya. Di usia yang begitu dini, tidak banyak yang
bisa dialami oleh remaja. Di masa itu, seorang remaja seharusnya mengumpulkan
kedua itu, bukannya mengurusi rumah tangga.
Jika Anda mau menuruti
hasil penelitian di Journal of Social and Personal Relationships, maka 25 tahun
adalah usia ideal untuk menikah. Di usia tersebut, Anda seharusnya sudah
memiliki banyak pengalaman hidup yang menempa pola pikir Anda sehingga pantas
untuk menikah. Kecuali Anda kerjaannya cuma meringkuk dalam kamar dan tidak
pernah mengalami pasang surut kehidupan sama sekali.
Coba pikir
baik-baik. Apa yang bisa diharapkan dari remaja usia di bawah 25 tahun yang
seringkali masih sulit berpikir logis? Karena pikirannya belum matang, mereka
sulit melihat baik dan buruknya pernikahan. Mungkin bagi mereka, pernikahan
hanyalah soal hidup bersama pasangan dan bahagia selamanya.
Padahal pernikahan
itu berpuluh-puluh kali lebih sulit daripada berpacaran sebab: 1) Mereka bertemu
pasangannya selama hampir 24 jam. Awalnya tidak membosankan, tapi tunggu
beberapa bulan ke depan. 2) Pengeluaran tiba-tiba membengkak karena harus
membayar tagihan-tagihan rumah tangga. 3) Komunikasi yang tadinya seru asik
tiba-tiba berubah kaku karena capek mengurus keluarga. 4) Dan puluhan masalah
pernikahan lainnya.
Bila Anda ingin
menikah, pastikan dulu konsekuensi yang bakal dialami setelah menikah.
Menjalani pernikahan tidak akan seindah, semewah, dan secemerlang foto pre-wedding di Instagram. Pikirkan
baik-baik hal apa saja yang mungkin terjadi selama perjalanan tersebut.
Barangkali ada perbedaan pasangan yang belum mampu Anda terima. Mungkin
keuangan Anda belum cukup untuk menghidupi dua orang. Hal-hal seperti itu tidak
boleh diabaikan karena bakal menumpuk masalah ke depannya.
Bicara tentang
keuangan ada daya tariknya tersendiri karena uang adalah salah satu aspek super
penting dalam menunjang kehidupan. Apalagi bila dikaitkan dengan pernikahan,
menariknya bukan main!
Kenapa begitu?
Karena keuangan
bisa menjadi lem perekat, sekaligus asam sulfat pernikahan. Terutama bila
keuangannya melarat tak termaafkan. Bagi sebagian pasangan, kekurangan uang
bisa merekatkan hubungan jika masing-masing pihak bahu membahu mencari cara
untuk keluar dari kemiskinan. Tapi tidak semua pasangan mau berlelah-lelah
seperti itu dan mencari jalan keluar tercepat: bercerai.
Meski peran
keuangan sangat krusial, ternyata masih banyak yang menyepelekannya. Para
penggiat nikah muda pun tak luput dari penyepelean ini. Jika Anda bertanya soal
keuangan ke mereka, kemungkinan besar jawabannya begini: “Sudahlah, uang ada
yang ngatur. Yang penting itu niat dan ikhlas” atau jawaban hampir serupa yang
intinya Anda tidak perlu memusingkan uang bila ingin menikah.
Anda boleh
berpendapat untuk tidak memikirkan masalah keuangan, tapi pastikan diri Anda
benar-benar sudah mapan. Bagaimana bisa tidak memusingkan keuangan, kalau untuk
menghidupi diri sendiri saja masih super sulit? Bagaimana nasib pasangan dan
anak Anda nanti? Menyediakan makanan dan pakaian saja masih jauh dari kata
cukup. Anda juga harus memikirkan pendidikan anak, tempat tinggal yang layak,
dan pengeluaran tak terduga lainnya. Omong-omong soal tempat tinggal, tahukah
Anda kalau banyak keluarga Indonesia yang tinggal berhimpit-himpitan di
lingkungan kumuh? Mau keluarga Anda tinggal di tempat seperti itu?
Boleh-boleh saja
Anda nekat menikah muda, tapi jangan menyepelekan masalah keuangan karena Anda
beresiko membawa bencana kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Kasihanilah diri
Anda dan keluarga Anda.
Apa yang Anda
korbankan bila memutuskan untuk nikah muda? Tentu saja jangka waktu pacaran
yang jadi lebih singkat. Padahal Anda sangat butuh berlama-lama pacaran karena
itu satu-satunya cara untuk menguji kualitas pasangan.
Coach Lex dePraxis
pernah menjelaskan bahwa pacaran mengandung tiga fungsi penting: investigasi,
evaluasi, dan introspeksi. Ya, Anda perlu menginvestigasi sifat dan kelakuan
pasangan—baik yang kelihatan maupun yang disembunyikan—agar bisa mengenalnya
lebih dalam. Jangan sampai kalian memiliki banyak sifat yang sangat bertolak
belakang dan ketahuannya belakangan pula. Misalnya: untuk pengeluaran, Anda
hematnya bukan main sedangkan dia borosnya bukan main. Akibatnya, keuangan Anda
jadi ikutan boros demi menghidupi pasangan Anda. Dan sayangnya lagi, Anda baru
mengetahuinya setelah menikah.
Kalau sudah
menginvestigasi, Anda juga perlu mengevaluasi hubungan apakah pasangan bisa
kooperatif atau tidak. Jika romansa diibaratkan sebagai kapal, maka Anda dan
pasangan adalah juru kemudi sekaligus navigatornya. Kalian butuh kerjasama yang
solid agar kapal tersebut berhasil mencapai tujuan. Kalau salah satu pihak
kebanyakan ngeyel dan
tidak mau bekerjasma, tinggal menunggu waktu sampai kapal tersebut karam di
tengah jalan.
Bagi sebagian
orang, mencari pasangan yang benar-benar bisa diajak bekerja sama itu sulitnya
bukan main. Terkadang pasangan hanya mau kooperatif di awal hubungan, setelah
itu melempem belakangan. Untuk mengetahui daya tahan kooperatif pasangan, tentu
Anda harus berpacaran dalam jangka waktu lama. Jangan sampai Anda baru
menyadari punya pasangan yang tidak kooperatif justru setelah terlanjur
menikah.
Masa pacaran juga membuat
kedua pihak bisa mengintrospeksi diri. Anda dan pasangan tentu punya sekargo
kekurangan yang sulit dilihat pada awal-awal hubungan. Semakin lama hubungan
itu berjalan, semakin berhamburan pula kekurangan yang selama ini
ditahan-tahan.
Selama dalam masa
pacaran, Anda dan pasangan punya kesempatan untuk memperbaiki kekurangan
tersebut. Kesempatan itu juga hadir dalam pernikahan, tapi jauh lebih sulit
karena pernikahan cenderung membuat kedua pihak bersikap defensif ketimbang
mendengarkan.
Keuntungan lain
dari pacaran adalah: kalaupun kekurangan pasangan tidak termaafkan, maka kalian
bisa memutuskan untuk berpisah yang mana prosesnya lebih gampang ketimbang
bercerai. Anda tidak perlu bolak-balik mengurus surat perceraian dan menanggung
rasa malu di keluarga. Palingan Anda cuma harus mengalami drama-drama putus
cinta dari mantan.
Betapa pentingnya
masa pacaran ini sampai-sampai Family Relations menerbitkan penelitian yang
menjelaskan kalau suami-istri yang
pacarannya kurang dari 6 bulan, justru BERPELUANG BESAR untuk bercerai.
Alasannya? Karena mengurangi masa pacaran itu sama saja membiarkan pasangan
yang tidak kompatibel masuk dan bercokol lama dalam hidup kita. Tinggal
menunggu waktu hingga salah satu pihak menyadari kebodohannya dan memutuskan
bercerai. Bayangkan bila masa pacaran Anda kurang dari itu!
Kesimpulannya, tidak
apa-apa jika Anda ingin menikah muda, terutama kalau usia Anda sudah menginjak
25 tahun ke atas. Namun, daripada menikah cuma sekedar ikut-ikutan apa kata
orang atau demi menghindari zina, jauh lebih bijak bila Anda mempertimbangkan
ketiga faktor di atas demi pernikahan yang berkualitas.
Covid-19 adalah
penyakit flu biasa yang dilebih lebihkan oleh para penguasa, hanya dengan berjemur
matahari saja, kita bisa sembuh.
Perceraian adalah hasil
produk dari ngebet nikah, yang sangat sukar disembuhkan, kalaupun sembuh pasti
tidak akan bisa seperti keadaan normal.
Oke, sampai sini
saja tulisan saya, jika ada hal yang perlu ditanyakan, sila tinggalkan komentar
dibawah atau DM di iG/Twitter saya @rahmaddanan.
Sampai jumpa di
tulisan saya berikutnya :* Stay happy & charming
Salam Romansa,
Rahmad Danan x
Romance Class
Sumber : kelascinta.com
Komentar
Posting Komentar